dedy punya pengalaman di udara

23 11 2008

Ini keponakan saya, yang punya pengalaman sama “pahitnya/manisnya” naik udara, bedanya dia di Eropa saya di AS dan kang Saiful di Indonesia….

urun rembug ah.

Dalam dunia penerbangan, layanan penerbangan minim service seperti yang diterapkan Air Asia disebut sebagai “no frills” style of airline, yang literally artinya memang “tanpa fasilitas berlebih”. Strategy ini dalam dunia bisnis adalah strategi yang mengambil issue harga (murah) dan bukan kualitas (yang bagus).

Ciri2 strategi ini sama dibelahan dunia manapun; no-frills, no food, no pre-assigned seats n so on. Pokonya minim servis dan terkesan self servis. Pramugari kesannya ga ada kerjaan banget diatas sana.

Ada ciri2 lain yang sebenernya diterapkan oleh Maskapai no frills, yaitu pemilihan Airport atau fasilitasnya. Kalau sempat keliling Eropa, hati2 memilih penerbangan karena biasanya mereka memakai Bandara yang jauuuh dari peradaban. Jadi kalau mereka sebut London, sebenarnya yang dipakai Luton, kota kecil dulu si Kiki tinggal yang masih 2 jam naek bis dari London. Pokonya jauuh dari pusat kota deh.Kalau di Indonesia, bisa dipastikan ga pakai belalai pas turunnya, tapi yang saya dengar, Airport Pondok Cabe akan difungsikan seperti Airport low cost airlines.

Selain itu, harga bisa ditekan lewat penjualan langsung melalui Internet. Jadi, ga ada harga bertingkat2 ketika memakai agent. Semakin awal pembelian, semakin murah karena subsidi silang. Ditambah ga ada tiket cetakan dan cukup pakai print-an internet pakai kertas sendiri. Saya bahkan pernah nge-print booking number pake kertas bekas. yang penting ada nomernya dan sesuai ketika dicocokkan dengan passport kita.

Hal2 inilah yang bisa membuat tiket penerbangan mereka jadi semakin murah.

Seingat saya, maskapai yang menerapkan strategy ini adalah Southwest Airlines asal negeri Paman Obama (dulu Paman Sam) sejak tahun 90-an. Strategy ini muncul terpaksa karena ada deregulasi peraturan penerbangan yang semakin membuat Maskapai untuk bersaing. Deregulasi terutama berkaitan dengan peraturan2 tentang rute2 mana yang boleh diambil, harga minimal, berapa jumlah kursi yang bisa dijual serta airport mana saja yang boleh dipakai.

Di Eropa, strategi lebih susah diterapkan karena negaranya beda2 aturan dan sedikit lebih regulated. Maskapai yang pertama menerapkan adalah Ryain Air dari Scotlandia. Saat ini, hampir setiap maskapai, terutama yang jarak penerbangannya tdk lebih dari 2-3 jam atau Short Haul memakai sistem ini, seperti Easy Jet, Bmy baby, dsb.

Sebenernya kita juga sudah merasakan sejak deregulasi peraturan penerbangan beberapa tahun yang silam, tapi kayanya yg full menerapkannya baru Air Asia.

Alhamdulillah, persaingan terbuka semakin membuat semua bisa terjangkau. Zaman dulu naek pesawat kayanya cuma mimpi buat mahasiswa kaya kita. Sekarang, sepupu2 bolak balik tiap minggu JKT-KL ga ada masalah.

Kuncinya cuma satu, rencanakan perjalanan anda jauh2 hari dan beli tiket seawal mungkin.





Asongan di Udara…

23 11 2008

Assalamualaikum, yang sedang di Batu Malang.

 

Saat saya mengikuti kegiatan Partnership for school 2008  di EWC Hawaii AS, juga punya pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman para pemakai jasa penerbangan di Indonesia.

 

Ada aturan baru yang diterapkan sejak Agustus oleh maskapai US Airways.

Sejak krisis melanda negara itu, banyak jurus jurus yang diterapkan para maskapai penerbangan.

 

Teman sebanyak 45 orang; para ustadz, ustadzah, dan Kyai ditugasi untuk magang di Mainland/negara bagian. ada yang kebagian naik pesawat 10jam, ada yang 12 jam ada juga seperti saya 16 jam dengan 3 kali ganti pesawat.

Kebetulan naik US Airways.

 

Tiket pakai print out biasa yang mereka sebut e-tiket, dan boarding juga tidak sehebat maskapai penerbangan di Indonesia.

Untuk check in, yaaa standart Internasional plus ruangan khusus…(saya hanya menemukan di Negara ini)

 

Konsumsi ….? tidak disediakan sama sekali, kata orang arab : kullun musy maughuut… mafi syai, wala Aqua 100ml

 

Yang ada; kita boleh bawa makanan apa saja ke pesawat setelah pemeriksaan keamanan. Namun di Pesawat ada juga “asongan” dengan harga 3kali lipat.

 

Saya kira, yang miskin dan meringis orang Indonsia saja..

ternyata ada satu keluarga duduk di depan saya, berjejer 7 orang. Bapak, ibu, Nya…, anak dan cucu yang masih belia 7than… ambil sana ambil itu minta di asongan ; tagihan terakhirnya $ 120 (seratus dua puluh dollar), Aqua 330ml yang biasanya dijual $ 2,5 dijual $ 8

 

eeeee tuh bule “meringis dan mengeluh juga”, kalau bahasa kita “eeee lue jangan jualan mahal2…

 

Saya bilang sama rekan di sebelah, ternyata yang ngeluh mahal bukan orang Betawi, Banten dan  Cipasung saja, ternyata si Bule Amrika juga ngeluh…..

 

salam

 

Dari Ust. Saifullah Kamalie

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang bertajuk “Kecerdasan Komersial” yang saya kirim beberapa menit menjelang boarding Citilink.

 

Ketika saya sedang membuat tulisan itu, di samping saya ada seorang kakek keturunan Tionghoa. Tiba-tiba seorang petugas counter Citilink datang menghampirinya. Anak muda tersebut meminta kepada sang kakek agar tas bawaannya dimasukkan bagasi (yang setiap kilogramnya harus bayar Rp. 5000,-). Ukuran tas tangan itu lebih kecil dari ransel yang saya bawa dan tentunya lebih ringan. Di ruang tunggu, banyak penumpang lain yang membawa koper yang jauh lebih besar tetapi memang berukuran standard untuk dimasukkan ke dalam bagasi cabin. Kontan saja sang kakek tersebut marah. “Lho, koq tas sekecil dan seringan ini harus dimasukkan bagasi. Lihat tuh penumpang lain tasnya gedhe-gedhe. Ini tak adil”. Setelah adu mulut seperti itu, anak muda petugas counter Citilink itu pun ngeloyor pergi.

 

Dugaan saya, anak muda itu baru mendapatkan pengarahan dari atasannya bahwa salah satu in-come Citilink adalah dari barang bawaan para penumpang. Mungkin karena masih kurang profesional, yang menjadi sasaran pertama adalah seorang kakek renta keturunan Tinghoa itu. Dan hanya beliau sendiri yang dihampiri.

 

Selain adanya peraturan yang mengenakan Rp. 5000,-/ kg untuk bawaan yang dimuat di bagasi, perubahan lain saya dapatkan di dalam pesawat. Dulu, para pramugarinya berusia lebih tua dari pramugari kebanyakan, sesuai dengan usia pesawatnya. Konon pesawat yang digunakan adalah pesawat apkiran Garuda regular yang sudah tidak layak terbang terlalu jauh. Waktu itu para pramugarinya pun nyaris tidak ada yang muda. Nah, pada penerbangan kali ini saya cukup dibuat kaget oleh kehadiran para pramugari belia ini. Pakaian yang digunakan ABG banget: T-Shirt, celana selutut, tali pinggang dari kain yang biasa dibuat untuk pita dan rambut ditata ala-kadarnya. Penampilan mereka terkesan informal. Begitu isyarat lampu “fasten seat-belt” dipadamkan, salah seorang dari mereka memberikan pengumuman bahwa sebentar lagi “pedagang asongan” akan segera menjajakan dagangannya. Jenis barang dan harga ada di booklet yang disimpan di kantung kursi. Ternyata jenis barangnya itu mirip dengan yang dijajakan dalam AirAsia. Ada mie instant, minuman kaleng, minuman botol dan aneka souvenir. Perbedaannya dibandingkan dengan AirAsia, awak Citilink ini menurut hemat saya lebih “manusiawi”. Pramugari AirAsia, sebelum mengerahkan pasukan “pedagang asongannya” melalui pengeras suara mengumumkan bahwa penumpang tidak boleh makan-minum yang berasal dari bawaannya sendiri. Artinya, kalau mau makan dan minum harus beli dari mereka. Pramugari Citilink memberi kebebasan kepada para penumpangnya untuk menyantap makanan dan minuman yang mereka bawa. Husnudzan saya adalah, para pramugari AirAsia wajar mengeluarkan aturan seperti itu, selain biar dagangannya laku juga agar mereka tidak dibebani sampah dari barang yang bukan berasal dari hasil jualannya. Kebiasaan baik para pramugari AirAsia ini, setelah semua penumpang makan-minum, mereka akan mundar-mandir sambil membawa kantong plastik untuk mengumpulkan sampah. Tentunya sampah yang mereka harapkan adalah sampah bekas kemasan makanan-minuman yang dibeli dari mereka.

 

Batu, Malang, Jawa Timur. 23 Nopember 2008.